Minggu, 17 Maret 2013

Mengenal Batik Gumelem (Banjarnegara) Dari Sejarahnya

Bicara Batik Gumelem tak mungkin melewatkan sejarah kemunculannya. Sampai saat ini memang belum ada penelitian yang secara khusus menguak sejarah Batik Gumelem. Namun ada dua versi yang bisa dijadikan rujukan bagi pihak-pihak yang ingin tahu tentang Batik Gumelem dari Banjarnegara.


Dalam Buku ”20 Tahun Gabungan Koperasi Batik Indonesia” yang diterbitkan sekitar tahun 1968, Sejarah Batik Gumelem masih terkait erat dengan Batik Sokaraja atau Batik Banyumas. Sejarah Batik Banyumas dimulai sejak pengungsian para keluarga raja dan pengikut Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta yang terdesak oleh Kompeni Belanda. Setelah perang usai pada tahun 1830, para keluarga raja dan pengikut Diponegoro memilih menetap di pengungsian daripada harus kembali ke keraton yang belum jelas jaminan keamanannya.







Di Banyumas, keluarga raja tersebut memilih menetap di Sokaraja. Di tempat inilah mereka memulai kegiatan yang dilakoninya sehari-hari, termasuk membatik dan mengenakannya dalam kepentingan berbusana. Pengikut Pangeran Diponegoro yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah yang mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewarna dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.


Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan warna khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah Perang Dunia I pembatikan mulai dikerjakan oleh penduduk Sokaraja keturunan Tionghoa disamping mereka dagang bahan batik.




Meningkatnya permintaan akan kain batik membuat semakin meluasnya kerajinan batik di kalangan masyarakat Banyumas dan sekitarnya, tak terkecuali masyarakat Gumelem yang sudah masuk Kabupaten Banjarnegara. Membatik menjadi kegiatan favorit masyarakat Gumelem khususnya kaum perempuan di sela-sela kesibukannya bertani atau mengurus rumah tangga sebagai sumber penghasilan tambahan.


Dalam Buku Profil Batik Gumelem (2008), Sejarah Batik Gumelem diyakini sudah ada sejak berdirinya tanah perdikan Gumelem yang kemudian menjadi Kademangan Gumelem. Miniatur kehidupan istana seperti pranata, trapsila, busana dan tata praja di wilayah pedesaan secara baik ditemukan pada ragam kehidupan di Kademangan Gumelem.


Layaknya wilayah perdikan, Kademangan Gumelem mengatur rumah tangganya sendiri. Demang memiliki pembantu sentana dalem yang mengurus kelancaran pemerintahan disamping terdapat satuan-satuan kerja teknis untuk mendukung keberadaan dan menjaga wibawa kademangan. Diantara satuan inti itu terdapat tukang batik yang bertugas membuat kain batik bagi keperluan busana keluarga, kerabat dan sentana dalem Kademangan.




Sentra Batik Gumelem berada di Dukuh Dagaran dan Karangpace (Gumelem Wetan) dan Dukuh Ketandan, Beji dan Kauman (Gumelem Kulon). Masa keemasan Batik Gumelem mengalami penurunan sejalan dengan berubahnya kademangan yang merupakan tanah perdikan (bebas pajak) di bawah pengaruh Kasunanan Surakarta.


Status dan wilayah Kademangan berubah karena Surakarta dilanda krisis politik dan pemerintahan, wilayahnya pun lantas dibagi dua menjadi Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Status kademangan menjadi desa praja.


Keruntuhan kademangan yang tak terelakkan menjadi pukulan terberat bagi perkembangan Batik Gumelem. Batik sebagai kebudayaan kalangan istana yang selama ini bertahan karena perlindungan (patronase) dari kalangan Kademangan seperti bangunan yang kehilangan penyangga utamanya. Keruntuhan berarti berkurangnya kebutuhan batik karena berkurangnya jumlah sentana dalem, acara pemerintahan dan ritual adat.












Kemunduran masa keemasan Batik Gumelem dipicu juga dengan melunturnya nilai-nilai sakral dalam kehidupan sehari-hari manusia sekarang ini membuat sirna pula makna batik. Batik semakin kehilangan mitos dan tinggal menjadi semacam ragam hias yang mengandalkan unsur keindahan belaka.


Di sisi lain industri sandang mulai mengandalkan cap atau cetak (printing) dimana motif batik hanya diproduksi ulang tanpa melalui teknik batik tulis atau tangan seperti lazimnya yang memang membutuhkan kesabaran, keahlian dan ketelatenan tersendiri oleh pembuatnya.


Ciri Khas Batik Gumelem


Keterkaitan sejarah Batik Gumelem dengan Batik Banyumas membuat ciri khas Batik Gumelem sedikit banyak terdapat kesamaan dengan Batik Banyumas. Sebagai contoh motif kawung, di Gumelem menjadi kawung ceplokan, jahe serimpang, godong lumbu, pring sedapur dan sebagainya.


Batik Gumelem juga tidak meninggalkan corak batik klasik khas kraton seperti Sidomukti dan Sidoluhur. Karena jika ditelusuri dalam sejarah, sama halnya dengan batik-batik banyumasan lainnya, batik mulai dikenal di Gumelem sejak Perang Diponegoro saat Pangeran Puger mengungsi ke Banyumas. Kraton yang pada masa itu merupakan pusat segala kegiatan kerajaan, diikuti oleh para punggawa dan budayawan termasuk di dalamnya para seniman batik. Di tempat yang baru tersebut, batik dikembangkan dengan gaya dan selera masyarakat setempat, maka salah satunya munculah Batik Gumelem.


Motif batik di Gumelem sendiri mengalami pembagian dalam dua golongan corak, yaitu klasik dan kontemporer. Batik klasik Gumelem dari segi motif tak banyak berbeda dengan batik banyumas dan batik-batik kratonan yang didominasi warna tua seperti coklat, hitam dan putih/ kuning.


Pembuatan batik tulis klasik dikerjakan oleh para pembatik berusia lanjut, menyukai detil, berpijak pada pakem, relatif halus dan pembatikan dituangkan di dua sisi kain (bolak-balik). Karena pengerjaannya yang butuh ketelatenan tinggi dan dikerjakan dalam waktu yang cukup lama, harga batik klasik Gumelem relatif tinggi dan biasanya menembak sasaran menengah ke atas atau kolektor batik. Banyak orang menandai ciri khas Batik Gumelem terletak pada keasliannya sebagai batik tulis yang benar-benar tulis, bukan campuran sablon tulis atau cap tulis.


Menurut Sartinem, salah seorang pelaku batik tulis asal Gumelem Kulon, ada puluhan corak batik klasik asli Gumelem. ”Beberapa diantaranya adalah Pring Sedapur, Gajah Uling, Sungai Serayu, Udan Liris, Jahe Serimpang, Sido Mukti, Grinting, Galaran, Buntelan, Sidoluhur, Ukir Udar, Sekar Jagad, Gabah Wutah, Blaburan, Parang Angkrik, Parang Angkrik Seling, Kopi Pecah,” terangnya.


Ditambahkan Sartinem, pada motif kontemporer sudah sedikit banyak perbedaan dengan batik banyumas. Motif kontemporer lebih variatif, mengakomodir kekhasan Banjarnegara, menggunaan pewarnaan yang lebih berani seperti hijau, merah, biru dan warna-warna lain sesuai keinginan, dikerjakan oleh pembatik-pembatik muda, corak relatif jarang-jarang dan besar-besar, satu muka atau dituangkan hanya satu sisi kain, dan dapat disesuaikan dengan order baik waktu pengerjaan, warna maupun harga. ”Contoh Corak Kontemporer diantaranya Sawung Alit, Lumbu Pari, Kawung Ceplokan, Kantil Rinonce, Sekar Tirta, Pilih Tanding, Salak Raja, Sekar Kinasih, Sekar Rinonce, Firasat, Barong Kembar, Wahyu Temurun, Lung Semanggen,” tambahnya.


Upaya Pemkab Banjarnegara


Sejak runtuhnya kademangan, Batik Gumelem mengalami kelesuan panjang. Kain batik hanya digunakan bagi perempuan tua sebagai pelengkap pakaian tradisional sehari-hari (jarit/ jarik –red), selendang untuk menggendong bayi dan kain penutup jenazah. Itupun hanya diproduksi ulang melalui teknik cetak (printing) untuk keterjangkauan harga. Para pembatik tulis-pun semakin jarang ditemukan dan nyaris punah.


Tahun 2003 bisa disebut sebagai tahun kebangkitan Batik Gumelem ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Bupati Banjarnegara agar setiap hari Sabtu, PNS se-Kabupaten Banjarnegara menggunakan Batik Gumelem saat melaksanakan tugas. Karena mahalnya harga Batik Gumelem yang semuanya berupa batik tulis, kebijakan penggunaan Batik Gumelem hanya diwajibkan bagi PNS yang telah menyandang eselon/ jabatan. PNS lainnya boleh menggunakan batik cap/ cetak yang rata-rata produksi daerah lain seperti Pekalongan dan Sokaraja.


Surat Edaran ini ternyata cukup jitu untuk menggairahkan kembali industri Batik Gumelem yang mati suri. Terbukti, hingga tahun ini (2012), data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan UMKM (Dinperindagkop) Kabupaten Banjarnegara tercatat sebanyak 8 pengrajin yang sudah memiliki nama (label). Pengrajin ini, menurut Heri Suryono, Kepala Dinperindagkop, tersebar di empat desa, yaitu: Gumelem Wetan dengan Giat Usaha milik Giat Saptorini, dan Setya Usaha milik Sutirah; Gumelem Kulon dengan Amorista milik Mukminah, Mekarsari milik Sartinem, dan Tanjung Biru milik Suryanto; Panerusan Wetan dengan Wardah milik Nanik Suparni dan Mirah milik Sumirah; serta Susukan dengan Prana Mukti milik Supono. ”Sedangkan untuk pembatiknya sendiri jumlahnya bisa mencapai ratusan, tersebar di empat desa tersebut. Masing-masing pengrajin bisa mempekerjakan sampai 40 orang pembatik,” tambahnya.


Selain menerbitkan Surat Edaran itu, melalui Dekranasda, Pemkab Banjarnegara melakukan berbagai terobosan untuk ’nguri-uri’ Batik Gumelem dengan berbagai upaya, seperti pelatihan lewat sistem magang, pemberian bantuan peralatan baik batik tulis maupun batik cap, pelatihan pewarnaan, teknis batik cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana Batik Gumelem tiap 2 tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta pemberian pinjaman modal dengan bunga rendah/ subsidi bunga.


Perhatian Pemkab Banjarnegara semakin dipertajam setelah munculnya pengakuan UNESCO bahwa Batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009. Sehari setelah adanya pengakuan UNESCO tersebut yang juga disebut sebagai Hari Batik Nasional, keluarlah Surat Edaran yang mewajibkan seluruh PNS se-Kabupaten Banjarnegara selama seminggu penuh mulai tanggal 5-10 Oktober 2009 menggunakan batik selama jam kerja.


Tak berapa lama kemudian turunlah Keputusan Bupati Nomor: 025/ 591 Tahun 2009 tentang Penggunaan Pakaian Dinas PNS di Lingkungan Pemkab Banjarnegara, yang salah satu poin pentingnya adalah penggunaan pakaian batik diperpanjang dari semula hanya satu hari yaitu di Hari Sabtu, menjadi tiga hari yaitu Kamis, Jumat dan Sabtu. Bahkan sejalan dengan waktu, kini aturan pemakaian batik diperpanjang lagi menjadi empat hari dalam seminggu, mulai Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.


Menurut Kepala Bagian Organisasi Setda Kabupaten Banjarnegara, Rahmawati BA, selain meng-gol-kan wacana memperpanjang pemakaian batik sebagai pakaian dinas PNS, pihaknya juga memiliki sejumlah wacana untuk turut melestarikan Batik Gumelem. ”Kami juga sedang menggagas untuk membuat seragam batik khusus bagi PNS dari Kabupaten Banjarnegara dan mengusulkan sistem kredit potong gaji di tiap koperasi pegawai negeri untuk mempermudah PNS memiliki Batik Gumelem,” jelasnya.


Pada bulan Desember 2012 yang akan datang juga akan diadakan Gebyar Pesona Batik Gumelem Banjarnegara dalam Rangka HUT KORPRI sebagai bentuk nyata KORPRI untuk turut andil dalam nguri-nguri keberadaan Batik Gumelem sebagai potensi khas asli Banjarnegara. Tahun 2013 yang akan datang juga akan digelar Batik Carnival sebagai rangkaian dari acara Festival Serayu Banjarnegara Tahun 2013.


Dilematis Batik Printing


Hanya saja, penambahan hari penggunaan batik ini tidak serta merta meningkatkan penggunaan Batik Gumelem di kalangan PNS. Sebaliknya, tidak sedikit PNS yang memilih membaluti tubuhnya dengan batik di luar Gumelem, terutama batik printing (kain bermotif batik cetak) yang harganya relatif terjangkau dan dijual bebas di pertokoan.


Persoalan ini memang menjadi dilema tersendiri bagi perkembangan Batik Gumelem. Batik Gumelem memang didominasi Batik Tulis yang dalam waktu pengerjaannya lama, rumit dan tentu saja konsekuensinya mahal. Sementara saat ini, untuk memenuhi kebutuhan terpenting seperti makan saja berat. Orang cenderung membeli pakaian sesuai kemampuan keuangannya, tidak peduli asli tidaknya pakaian batik yang digunakannya. Bahkan untuk bisa membeli selembar pakaianpun sudah beruntung.


Tak hanya itu. Tempo waktu pengerjaan yang lama ditambah kegiatan membatik masih dianggap pekerjaan sambilan selain bertani, membuat Batik Gumelem sulit memenuhi permintaan pasar baik dari sisi waktu maupun ketersediaan komoditas.


Kondisi ini memunculkan wacana pengadaan batik printing dengan motif khas Gumelem.Teknik pembuatan batik printing persis teknik sablon, yaitu menggunakan klise (kassa) untuk mencetak motif batik di atas kain. Cara mewarnainya juga sama dengan proses pembuatan tekstil biasa, yaitu dengan menggunakan pasta yang telah dicampur pewarna sesuai keinginan, kemudian diprintkan sesuai motif yang telah dibuat. Keunggulan batikprinting tentu saja dari sisi efisiensi waktu karena tidak melalui proses penempelan lilin dan pencelupan seperti batik pada umumnya, hanya saja motif yang dibuat adalah motif batik.Tak heran jika batik printing bisa diproduksi dalam jumlah besar.


Batik printing sudah lazim dilakukan di sentra-sentra batik di seluruh Indonesia seperti Pekalongan, Banyumas, Yogyakarta dan Solo. Melihat kondisi dan persoalan yang dihadapi dalam pengembangan Batik Gumelem, seolah-olah batik printing memang solusi paling tepat. Apalagi untuk menjawab kebutuhan pasar terutama setelah getolnya kampanye penggunaan Batik Gumelem bagi masyarakat Banjarnegara yang dimulai dari kalangan PNS.


Namun wacana ini tidak sepenuhnya mendapat sambutan antusias, terutama bagi para pecinta batik. Menurut Sartinem, salah satu perajin batik Gumelem, batik printing bukanlah batik. Karena yang dimaksud dengan batik adalah kain yang ditulis atau dihias motif-motif khas dengan malam panas melalui canthing dan disempurnakan dengan proses pencelupan. Sementara batik printing, bahan pewarnanya bukanlah malam, juga tidak menggunakan canthing. Seluruhnya dikerjakan layaknya sablon pada kain motif umumnya.


”Jadi kekhasan batik dan pakemnya tidak ditemukan disini. Memang, harganya lebih murah karena kualitasnya jauh di bawah batik tulis, juga bisa diproduksi dalam skala sangat besar. Jadi tidak ada bedanya dengan kain motif lainnya,” ujar Sartinem. Sebagai pelaku batik tulis, Sartinem juga khawatir popularitas batik tulis tenggelam digantikan batik printing yang notabene sangat mudah ditiru.


Memang dibutuhkan kearifan dalam ’nguri-uri ’ Batik Gumelem. Jangan sampai hanya karena keinginan memenuhi kebutuhan pasar, kualitas dan keaslian Batik Gumelem dipertaruhkan. Inilah tantangan yang tidak cukup untuk sekedar direnungkan, tapi juga harus dijawab dan dicari solusinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Rosyid A | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review
Chrome Pointer