Senin, 30 Agustus 2010

Stasiun oleh Putu Wijaya

Judul : Stasiun
Oleh : Putu Wijaya



Novel karya Putu Wijaya ini berkisah tentang keterasingan manusia yang merasa disisihkan oleh masyrakat. Adalah seorang selalu berumur, setelah menyaksikan pemandangan kota pagi hari merasa harus berangkat. Ia naik bemo, ia berkhayal bahwa dirinya sedang antri untuk membeli karcis, tangannya yang terkepal menyebabkan ini ia dituduh mencopet, akhirnya ia ditembak hingga tembus oleh seorang tentara.
Kini lelaki tua itu sudah sampai di stasiun yang sebenarnya. Kejadian antri karcis, dimana ia dituduh mencopet dan ia ditembak polisi tadi hanyalah lamunan/khayalan saja. Di stasiun itu, ia berjumpa dengan seorang wanita. Mereka berbncang-bincang dengan sangat akrab seolah-olah orang sudah lama kenal.
Tengah malam, kereta memasuki sebuah stasiun. Seorang perempuan gila masuk ke bawah kereta. Untuk mengeluarkannya, seorang pegawai kereta menariknya keluar. Akhirnya si pegawai itu sendiri yang harus dikeluarkan karena dianggap berubah ingatan.
Berbawai peristiwa unik dialami lelaki tua itu. Berbagai pikiran dan khayalan berkecamuk dalam dirinya. Orang tua itu pingsan akibat udara sesak di dalam kereta. Penumpang ribut, lalu mereka memecahkan kaca jendela. Tepat saat itulah lelaki tua yang pinsan itu siuman.Karena suasana kereta yang semrawut dan gangguan pikiran, lelaki itu mual dan ingin muntah. Ia ingin buang hajat. Maka ia berusaha menuju ke gerbong peterusan. Tetapi sebelum mencapai gerbong itu, lelaki itu terberak di celana. Kemudian ia menyingkir ke gang pintu kereta. Di gang itulah ia bertemu dengan lelaki muda bernama Joni. Dan di gang itu pulalah Joni berhasil memperkosa lelaki tua itu.
Kereta api ahirnya sampai di stasiun. Para penumpang turun. Pikiran lelaki tua itu mengembara ke mana-mana. Akhirnya ia sering berada di warung kopi dekat kereta api. Kebiasaan ini membuatnya lupa dengan anak dan istrinya. Orang tua itu asyik dengan pikirannya sendiri, sementara keluarganya tidak pernah dihiraukan lagi. Suatu ketika ia bertengkar hebat dengan istrinya, dan akhirnya ia nekad bunuh diri di kamarnya.
Dalam keadaan terluka, ia melihat gelandangan mati di stasiun. Istri gelandangan tidak mau suaminya dibawa ke fakultas kedokteran. Ia ingin menguburkan suaminya secara wajar. Ternyata ia berubah pikiran. Mayat suaminya mau dijualnya. Namun akhirnya ia menyerahkan mayat suaminya tanpa meminta imbalan.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, si orang tua pulang. Di rumah, ia justru menyaksikan mayatnya sendiri yang tak mau diakuinya. Dia kembali ke stasiun. Di kantor stasiun, ia diinterogasi. Ia dituduh mencori kopor, dan setelah bersumpah bahwa ia tidak mencuri, ia dibebaskan. Ia kemudian membeli tiket dan siap menunggu kereta untuk melakukan perjalanan

Cinta Tanah Air

Judul : Cinta Tanah Air
Oleh : Nur Sutan Iskandar



Cinta Tanah Air adalah novel karya Nur Sutan Iskandar. Novel ini pertama kali terbit tahun 1944. Jika dicermati, novel ini merupakan propaganda Jepang yang hampir tidak terlihat nilai sastranya. Berikut adalah ringkasan novel tersebut
Amiruddin, pemuda berumur 24 tahun datang dari Bandung ke Jakarta untuk melihat pasar malam. Dalam perjalanan ke pasar malam dalam trem ia berjumpa dengan seorang gadis manis yang sangat menarik hati Amiruddin. Lamunan Amiruddin tetap kepada wajah wanita itu selama perjalanan menuju pasar malam.
Lambat-lambat Amiruddin memasuki pintu gerbang pasar malam sambil membaca beberapa semboyan yang menarik. Di antaranya semboyan yang menyatakan keteguhan penjagaan tentara Dai Nippon di Pulau Jawa.Amiruddin masuk ke tempat hasil bumi dan hasil kerajinan anak negeri dalam pameran tersebut. Ia berjumpa dengan sahabat lamanya, Haryono. Di saat yang sama, tiba-tiba Amiruddin berjumpa dengan gadis yang dilamunkannya ketika kebetulan sama-sama membeli sapu tangan. Dalam pada itu Amiruddin berkenalan pula dengan teman akrab ayahnya bernama Suwondo.
Di Jakarta Amiruddin bermalam di penginapan Asia di Senen. Karena itu ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah Suwondo.
Ketika Amiruddin berkemas hendak pulang ke Bandung dilihatnya sapu tangannya telah tertukar dengan nama Astiah, gadis manis yang selalu terbayang di matanya. Segera ia pergi ke Bungur mengembalikan sapu tangan itu. Suwondo dan istrinya telah memahami hubungan anaknya dengan Amiruddin.
Amiruddin telah tiba kembali di Bandung. Dengan gembira ia disambut adiknya. Bungkusan kiriman istri Suwondo diberikannya kepada ibunya. Ibu Amiruddin sangat gembira menerima kiriman dari sahabatnya itu. Amiruddin pun tak terkira senang hatinya karena ia juga mendapat sepucuk surat dari Astiah beserta sapu tangannya yang tertukar, tanda hubungan cinta kasih mereka telah terpadu.
Hubungan akrab antara keluarga Suwondo dengan keluarga Amiruddin pun terjalin baik setelah mereka berkunjung dan berjumpa dengan Nyi Zubaidah, ibu Amiruddin. Lebih-lebih lagi hubungan Amiruddin dengan Astiah.
Sementara itu suasana perang makin terasa. Amiruddin hampir tak ada kesempatari memikirkan kekasihnya. Pikirannya tercurah kepada mempertahankan tanah air. Amiruddin, Haryono, dan kawan-kawannya bermaksud menjadi pasukan pembela tanah air. Hanya karena desakan ibunya ia menyempatkan untuk memadu pertunangan dengan Astiah.
Meskipun Amiruddin hendak maju ke medan perang rupanya tidaklah menjadi penghalang cinta kasihnya terhadap Astiah, karena Astiah pun ingin juga berbuat demikian, maju ke medan perang berjuang sebagai juru rawat.
Beberapa hari sebelum mereka menuju medan perang, Amiruddin dan Astiah melangsungkan pernikahan dengan upacara sederhana tapi berkesan, Nyonya Suwondo dan Nyi Zubaidah merelakan keduanya berangkat ke medan perang setelah anak dan menantu ini berpamitan untuk melaksanakan bakti mereka atas Cinta Tanah Air.

29 Agustus 2010

Hari hari yang melelahkan, tapi “InsyaAllah” menghasilkan pahala yang banyak, Amin. Karena tadi malam saya tidur di Masjid, dan membangunkann orang2 untuk sahur. Sudah tidur dilantai, dingin, banyak nyamuk pula. Tp ga’ papa, itu salah satu mencari ridho Allah jugakan?
Mengenai seseorang yg saya kagumi, sy merasa senang, karena sejak pagi tadi dia bercanda denganku. Sampai saat inipun dia masih. Walau hanya lewat sms. Bahkan dia bercerita tentang dirinya, dia berkata kalau dia barusaja sembuh dr sakitnya. Mengenai dia cukup jgn kebanyakan, hehehe…..

Sabtu, 28 Agustus 2010

Diariku 27 Agustus 2010

Hari ini dia tidak mengomentari semua perkataan saya, malah seolah dia mengacuhkanya. Mungkin ada perkataan saya yang tidak enak dihatinya, atau mungkin karena dia tak sempat membalasnya. Tapi setidaknya ia memberitauku mengapa dia begitu.
Hari ini saya banyak mengalami peristiwa2 yang mengejutkan, itu salah satunya. Mungkin karena dia sibuk atau to do something. Tapi apapun itu, dia tetaplah yang kurindukan keberadaanya. Dan karenamu, aku juga ingat sesuatu, bahwa “betapa kau indah diciptakan oleh-Nya.

Senin, 23 Agustus 2010

TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG Oleh Sutan Takdir Alisyahbana

Judul    : TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG
Oleh    : Sutan Takdir Alisyahbana
Roman karya Sutan Takdir Alisyahbana ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka tahun 1929. Roman ini berkisah tentang sebuah keluarga yang selalu dirundung kemalangan. Novel yang bersetting daerah Bengkulu ini secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut.

Kehidupan Syahbudin dengan dua anaknya selalu tak berkecukupan. Mereka sangat miskin. Kemiskinan itu semakin menjadi-jadi ketika rumah yang mereka tinggali bersama istri dan dua anaknya Mansur (8 tahun) dan Laminah (7 tahun) terbakar. Karena tak tahan menanggung penderitaan, istri Syahbudin meninggal. Mereka bertiga lalu membanting tulang dari pagi hingga petang untuk mencari pengisi perut. Mata pencahariannya kini adalah mencari durian dan ranting-ranting kayu yang lalu dijualnya ke kota.Beberapa bulan kemudian kemalangan pun menimpa kedua kakak beradik itu lagi. Dengan tak disangka-sangka sama sekali, ayahnya jatuh, sehingga mengantarkannya ke alam baka. Sesudah ayahnya meninggal kedua anak itu diasuh oleh bibinya. Mula-mula suami bibinya amat sayang kepada mereka berdua. Namun tak lama. Malang, pamannya berubah sifatnya, sehingga kedua anak itu selalu menerima caci maki dan sumpah serapah.
   Untuk melepaskan diri dari kekangan paman yang sudah mulai ganas itu, Mansur dan adiknya pergi ke Bangkahulu. Mereka mencari pekerjaan. Mereka berfikir, bagaimana pun juga kehidupan mereka tak hendak digantungkannya kepada orang lain. Akhirnya di kota itu mereka mendapat pekerjaan di sebuah toko roti.Tak berapa lama mereka menjalankan kewajibannya, kemalangan datang pula, menimpa mereka. Laminah mendapat gangguan dan hinaan dari teman kerjanya. Mereka terpaksa keluar dari toko itu untuk mencari pekerjaan lain.Setelah berusaha dengan susah payah, Mansur mendapat pekerjaan juga di sebuah toko Jepang. Di sana temyata tidak lama bekerja. Sebab ia dituduh mencuri uang majikannya. Atas putusan hakim Mansur yang tak bersalah dijatuhi hukuman dan harus menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan.
Berita yang menyedihkan itu sampai juga ke telinga Darwis yang mempunyai niat jahat kepada Laminah di toko roti dulu. Dengan paksaan dan ancaman yang keras, Laminah digagahinya. Hilanglah kini mahkota yang selama ini dipertahankannya. Akibat malu dan takut kalau hal itu terdengar kakaknya, malam itu juga Laminah menceburkan diri ke laut, tepat pada saat ombak dan badai sambung-menyambung.
Mansur sudah bebas dari hukumannya. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya tak terbukti. Kabar tentang adiknya memang telah sampai kepadanya, namun belum jelas baginya. Agaknya dia sudah merasa putus asa dan bosan hidup tak henti-hentinya dirundung malang itu. Ia ingin juga menceburkan diri ke tengah laut, meniru dan mengejar adiknya yang kini telah tenang di alam baka.
   Pada waktu kapal yang ditumpanginya akan berangkat, sesudah muatan-muatan berangkat semua, tak disangka-sangka sama sekali, kakinya tergelincir. Dan jatuhlah ia berguling-guling masuk ke dasar lautan. Tak perlu pertolongan baginya, sebab Mansur sudah hilang ditelan keganasan ombak yang deras.***

Rabu, 11 Agustus 2010

Mahkota Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy

       Novel islami yang berjudul Mahkota Cinta ini menceritakan tentang perjalanan panjang seorang Ahmad Zul dalam mencari jati diri, kehidupan, dan cinta. Seorang zul dia memulai perjalanan dari semarang sebagai tempat lahirnya menuju ke jakarta, dari Jakarta menuju batam, dari batam menuju Malaysia, dan kembali lagi ke Yogyakarta.Dalam perjalanan ke Malaysia zul bertemu dengan siti martni, mereka ngobrol selama perjalanan, siti martini menceritakan pada zul perjalanan pahitnya ketika dia tahu bahwa suaminya itu adalah orang yang sangat berengsek dan menipu dia. Selama perjalanan zul; merasa mendapat petunjuk soalnya dia ga tahu harus ngelakuin apa. Dia belum pernah ke Malaysia makannya dia ga tahu tempat disana.
Sesampainya di Malaysia, zul bingung harus kemana dia tidak punya tujuan yang pasti, dia coba nelepon pa rusli orang yang disanrankan pak Hasan yang harus ditemui zul, tapi ga diangkat-angkat. Akhirnya siti martini mengajak zul ke rumahnya untuk menginap semalam ataudua malam sebelum dia ketemu sama pa rusli dan zul pun menyetujuinya.Mereka langsung menuju rumah mari, sesampainya di rumah mari zul disambut oleh teman-teman mari. Malam itu jul tidur di rumah mari, keesokan harinya zul pergi meninggalkan rumah mari karena ingin menghindari Linda sekalian mencoba menghubungi
       Setelah selesai makan Zul memutuskan pergi jalan-jalan keluar ke pusat kota, karena dia merasa tidak akan kua imannya jika terus bersama linda di rumah itu. Zul langsung keluar dari rumah itu dan meninggalkan Linda sendiri. Dari Subang Jaya zul menggunakan bus Rapid KL menuju terminal KL Sentral, di sana zul merasa bingung lalu dia berinuisiatif menghubungi Pak Rusli dan akhirnya dia dapat menghubungi pa Rusli, zul mengutarakan maksud dan tujuan dia dating ke Malaysia dan menghubungi pak Ruslipun karena pemberitahuan pak Hasan waktu zul berada di Batam. Dari Rapid KL jul menuju KTM dan turun di Mad Valley untuk bertemu dengan Pak Rusli.
       Setelah sampai di Mad Valley Zul bertemu dengan pak Rusli dan mereka berbincang-bincang mengenai maksud dan tujuan Zul, disana zul di beri pengarahan dan arahan oleh pak Rusli untuk bias melanjutkan sekolah S2 di Universitas Malaya. Zul merasa bahagia sekali dan sangat bersemangat untuk menempuh hidup barunya, mereka mengelilingi Universitas Malaya untuk melihat-lihat dan mereka shalat ashar dulu di mesjid Akademi Pengajian Islam setelah itu pak rusli mengantarkan Zul bertemu dengan teman-temannya yang dari Indonesia.
       Setelah beberapa lama mereka turun dari mobil, pak rusli dan zul langsung menuju sebuah apartemen tempat mahasiswa dari Indonesia yang akan dikenalkan pak rusli kepada Zul, sesampainya di apartemen itu zul disambut dengan ramah oleh penghuni rumah yaitu Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan pak Muslim. Semua teman-teman barunya menceritakan latar belakang mereka yang dengan penuh susah payah berjuang hanya untuk meneruskan pendidikan mereka. Setelah beberapa lama penghuni flat itu kumpul semua, mereka memberikan semangat yang besar kepada zul untuk terus melanjutkan kuliahnya bahkan Yahya menawarkan zul untuk tinggal disana dan sekamar bareng sama Yahya, tak ada keraguan bagi zul untuk menolak tawaran tersebut dan akhirnya zul memutuskan untuk tinggal di flat tersebut bersama yahya dan teman-teman yang lainnya.
       Dengan perasaan lega karena Zul sudah diterima oleh teman-teman barunya pak Rusli memutuskan uytuk pulang dan pak Ruslilangsung pamitan kepada semuanyya. Malamnya zul merasa punya semangat dan saran serta dorongan dari teman-temanya untuk bias menentukan langkah selanjutnya. Semua yang ada di rumah itu ingin memberikan bantuan semampunya.Sugeng menawarkan diri untuk membantunya mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa. Yahya dan Arif akan membantu mencarikan Informasi kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu, menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul selama Pak Muslim melaksanakan penelitian di Sabah pak muslim menyarankan supaya zul dafar saja terlebih dahulu.
Sesudah itu zul menyetujui saran dari teman-teman barunya, dan zul memutuskan untuk kuliah di UM mengambil jurusan psikologi pendidikan, fakultas pendidikan. Keesokan zul mengurus berkas-berkas lamarannya ke UM di damping sugeng selama dua hari zul bolak balik kesana kesini menguruskan berkas dan berkasnya telah beres. Zul tinggal menunggu panggilan dari Universitas Malaya.
       Selama menunggu panggilan dari UM Zul memutuskan untuk mencari kerja supaya bias mendapatkan uang ntuk pembayaran biaya kuliah jika dia bias diterima di UM. Setelah itu rizal mengajak zul untuk bekerja dengan semangat zul menerima ajakan rijal bekerja, mulai saat itu zul bekerja dengan penuh semangat bagaikan tanpa lelah terus bekerja setiap hari sampai malam, teman-temannya sangat senang melihat semangat zul untuk bekerja demi mendapatkan uang untuk kuliah.
       Suatu hari ia ingat bahwa barang-barang yang dibawanya dari Indonesia masih tertinggal di rumah Mari dan zul hanya bisa mengirim SMS kepada Mari.Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari. Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap dirinya sebagai adik.Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya. Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. La lalu menjawab pertanyaan Mari. Suatu hari datanglah surat keterangan dari Universitas Malaya yang meyatakan bahwa Zul diterima di sana. Selama tiga bulan Zul bekerja mati-matian untuk dapat menghidupi kehidupan dan dapat membayar uang registrasi kuliah.Perkuliahanpun dimulai, zul sudah mendapatkan jadwal aktif kuliah, dia harus bias menyesuaikan waktu untuk kuliah, belajar, dan bekerja. Tak terasa satu semester telah dilewati Zul dengan penuh semangat dan harapan. Malam itu Kuala Lumpur hujan deras tengah malam zul bangun dari tidurnya, dia muhasabah diri mengingat hal-hal yang penah ia lakukan dulu.
      Pagi harinya zul ingin bersilaturahmi kepada Mari dan akhirnya dia pergi kerumah mari , sesampainya di rumah mari zul kaget karena melihat mari sedang mau diperkosa oleh Warkum yang merupakan mantan suami mari. Dengan segera zul memukul warkum sampai warum merasa kesakitan dan minta maaf. Warkum langsung pergi setelah diancam oleh Zul. Setelah kejadian itu mari sangat berterimakasih pada zul, bahkan mari rela melakukan apapun demi zul, akhirnya zulpun pergi meninggalkan mari dengan membawa barang-barangnnya.Zul mondar-mandir di ruang tamu, semua penghuni flat itu sudah tidur. Zul selalu membayangkan kejadian tadi siang yang dia alami, wajah mari selalu terbayang di ingatan zul. Ia sadar bahawa dia sudah dewasa tapi ia bingung harus berbuat apa, seandainya ia menikahi mari ia takut kuliahnya tidak beres, tapi kalau tidak begitu dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Dia mencoba bertanya pada yahya dan yahyapun memberi saran pada dia, kalau memang zul sangat mencintainya lebih baik zul menikahinya dengan catatan kuliah harus sampai beres.
       Dua bulan berlalu setelah yahya mengajak zul berbicara dari ahti kehati dengan harapan semangat zul kembali pulih tetapi sayangnya zul masih saja murung dan banyak melamun dia tidak semangat dalam bekerja, berusaha dan belajar. Melihat sikap zul yang seperti itu Pak Muslim selaku orang yang paling tua di flat itu memanggil zul dan memberikan tiga pilihan pada zul, yang pertama zul harus melupakan mari dan konsentrasi pada kuliahnya, yang kedua zul harus menikahi mari tetapa kuliah juga harus tetap jalan, dan yang ketiga pak muslim membebaskan zul untuk hidup sesukanya dengan syarat tidak boleh tinggal di flat itu. Akhirnya zul memilih saran yang kedua, keesokan harinya zul siap berangkat ke rumah mari dengan tujuan untuk melamar mari dan diantar pak Muslim.
      Sesampainya di rumah mari zul sangat terkejut karena rumah itu telah kosong, zul dan pak muslim bertanya pada tetangga rumah itu dan tetangga itu menunjukan Koran yang Menyatakan bahwa penghuni rumah itu semuanya di tangkap polisi karena melakukan praktek prostitusi, zul sangat kecewa dengan berita itu dan akhirnya mereka pulang lagi ke flat mereka dengan hati zul yang sakit.Dengan kejadian itu zul semangat lagi untukj melanjutkan kuliah dan bekerja, seisi flat itu senang melihat semangat zul kembali pulih. Zul dengan penuh semangat melanjutkan kuliah dan akhirnya dia sebentar lagi dia akan menyandang gelar M.Ed. (Master Education). Waktu terus berjalan dan zul pun mendapat kebingungan antara melanjutkan kuliah S3 atau pulang ke Indonesia untuk mencari kerja, dia pergi ke rumah yahya dan menceritakan kegelisahannya pada yahya. Dengan penuh kesabaran yahya selalu menasehati zul dan memberikan arahan-arahan kepada zul untuk megambil keputusan yang terbaik.Yahya menyarankan zul untuk segera menikah dan yahya mengenalkan zul pada seorang wanita teman istrinya yang merupakan seorang dosen namanya Prof. Madya Datin Laila Abdul Majid, Ph.D. Dia menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham. Zul sangat terkejut dan senang seandainya dia jadi menikah dengan wanita itu, tapi sayang wanita itu sudah dijodohkan oleh keluarganya.
       Setlah itu zul pulang dengan naik bus mini kuning ke Hentian Kajang, sebelum naik bus mini zul bertemu dengan sumiyati yang dulu pernah bertemu di SUbang Jaya di rumah Mari, sumiyati menceritakan apa yang terjadi pada mereka di rumah itu dan kahirnya zul baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, zul merasa sangat bahagia mendengar cerita itu.Keesokan harinya yahya menghubingi zul dan mengasih tahu bahwa datin laela sudah di jodohkan dengan orang lain, zul sangat kecewa tapi di balik itu yahya memberikan kabar yang cukup menggembirakan bahwa di Indonesia tepatnya UNY (Universitas Yogyakarta) ada lowongan jadi Dosen S2 jurusan Sosiologi Pnedidikan. Zul memutuskan untuk langsung pulang dan melamar pekerjaan disana.Tiga hari kemudian zul langsung pulang ke Indonesia menuju bandara Adi Sucipto Yogyakarta dan ia dijemput oleh Pak Muslim. Sesampainya di bandara zul bertemu dengan Pak Muslim dan pak Muslim mengajak zul kerumahnya, di rumah pak Muslim Zul menceritakan perjalanan hidupnya setelah Pak muslim pulang ke Indonesia.
      Besoknya pak Muslim mengantarkan zul untuk memasukan lamaran pekerjaan ke UNY, sesudah itu pak Muslim bertanya pada zul apakah zul belum berencana menikah, dan pak Muslim mau mempertemukan zul dengan teman istrinya, pak Muslim menjelaskan bahwa teman istrinya itu sangat baik. Zul menurut saja dengan apa yang disarankan pak Muslim, yang bernama Agustina Siti Mariana Maulida, M.Ec.
Waktu terasa cepat berlalu dan akhirnya saat yang di sarankan pak Muslim untuk bertemu dengan Agustina tiba, setelah solah isya zul dan pak muslim langsung ulang kerumahnya dan ternyata istrinya Pak Muslim dan Agustina orang yang akan dikenalkan dengan zul sudah berada di rumah pak Muslim. Waaku itu zul sangat terkejut karena yang dia lihat adalah Mari orang yang ia cintai waktu di Subang Jaya Malaysia.
Malam itu adalah malam yang sangat bersejarah dan membahagiakan bagi Zul dan Mari. Mereka sepakat untuk menikah secepatnya. Dan dua minggu setelah itu mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa kelahiran Mari. Selanjutnya mereka hidup bersama dalam kesucian. Dan beribadah bersama, saling mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam bingkai mahkota cinta yang terbangun indah di atas mahligai iman dan takwa.

Selasa, 10 Agustus 2010

Sebuah Lorong Di Kotaku (NH Dhini)

         Kehidupan sewaktu kecil Nh Dini memang terisi dengan sebagaimana mestinya. Hidup dengan kedua orang tua dan keempat saudara kandungnya, Dini melewatkan masa-masa kecil dengan berbagai hal baru yang belum banyak diketahui olehnya. Hal baru yang akan menuntunnya lebih jauh ke depan.
Ketika itu adalah musim penghujan yang mempengaruhi keadaan sekitar halaman rumah keluarga Dini. Ayam-ayam peliharaan tidak memiliki kesempatan berjemur seperti hari-hari yang lain karena menghilangnya matahari. Jadi untuk mengisi kegiatan, ada beberapa ekor yang keluar kandang untuk mencari keong-keong kecil. Tapi ada juga yang sampai masuk ke dalam ruangan makan, entah apa yang akan diperbuat, hingga akhirnya diketahui orang rumah dan disusul dengan usiran marah.
       Sedangkan di dapur, satu ekor ayam yang bernama Blirik dengan enam anaknya yang kuning bersih selalu rajin mengunjungi Bu Salyo, yang cukup dipanggil Ibu oleh keluarganya.Setiap kali ada telur yang menetas, Ayah atau bapak lima anak dari keluarga Dini selalu memisahkan induk ayam dengan anaknya. Jika musim mendukung, tiga sampai empat induk akan memisahkan telur-telurnya.
Pagi itu adalah suasana seperti pagi-pagi yang telah lewat sebelumnya. Seluruh kakak-kakak Dini; Heratih, Nugroho, Maryam, dan Teguh telah berangkat sekolah dan Ibu duduk di sudut ruang makan menunggu Embok Blanjan, seorang perempuan penjual sayuran dan bahan makanan lainnya. Penjaja itu juga selalu membawa berbagai jajanan, makanan asin atau manis yang sedap lezat dibungkus rapi dengan daun pisang, dan kali ini Dini lebih memilih Tiwul, yakni makanan kecil yang terbuat dari ubi.Setelah Embok Blanjan mengemasi dagangan, maka dimasukannya kembali dagangan itu ke dalam bakul atau ke atas tampah, lalu dia pamit dengan sopan.Karena di belakang rumah sedang banjir disebabkan hujan yang sangat lebat, maka dengan tidak sabar Dini langsung menyatakan keinginannya untuk turut menyerok ikan bersama Ayah, walaupun pada akhirnya Ibu sama sekali tidak menyetujui.
           Kebun belakang rumah yang luas saat itu tergenangi air cokelat, dan tidak dapat diperkirakan berapa meter tingginya. Pohon kluwih, mangga lalijiwo, pohon mangga biasa, dan kedondong seperti mengapung lalu tiba-tiba muncul dari garis permukaan air, sedangkan pohon pisang yang paling banyak tumbuh dan tersebar di segala penjuru kebun, batangnya berjuluran. Tidak hanya itu, kandang itik pun turut tenggelam pula. Untung saja Ayah membuat atap kandang itu lebih tinggi hampir menyentuh atap dapur. Di dalamnya Ayah juga membuat sangkar yang bertingkat-tingkat agar ada bagian kering untuk tidur atau bertengger, tetapi yang masih bisa dicapai oleh itik-itik itu.Tentu saja itik-itik itu merasa sangat berbahagia, bisa hilir-mudik berenang dalam kandangnya, walaupun ada juga yang mencocok-cocok bambu seakan berusaha untuk keluar.
Di sisi lain dari panorama tersebut, Dini lebih menyukai berada di dalam rumah, biasanya untuk bermain-main dengan anak pembantu sebaya di bawah sebuah meja bilyar di tengah pendapa, bertudungkan kain batik tua yang menutupi meja bilyar, dengan ujung-ujung kain yang saling berkaitan. Dan itulah waktu-waktu panjang yang telah Dini lalui kala menunggu ayah dan kakak-kakaknya pulang.

Suasana makan di rumah keluaraga Dini memang berjalan dengan sangat teratur, tidak boleh banyak berbicara dan makanan harus dinikmati dalam diam. Mengunyah juga harus dengan lambat, tanpa suara dengan mulut tertutup. Selain itu, jika makan menggunakan tangan, mereka harus mencuci tangan terlebih dahulu.Dan pada suasana makan itulah, Ayah tiba-tiba memutuskan bahwa mereka akan berkunjung ke desa, rumah dari orang tua Ayah saat liburan sekolah di suatu kesempatan. Liburan ke desa yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga di depan mata. Untuk mempersiapkan semua itu, Ibu membawa makanan secukupnya, yang setidaknya harus cukup untuk kebutuhan keluarganya. Beliau kurang setuju kalau membeli makanan di perjalanan, kecuali buah-buahan atau jenis makanan khas dari daerah tertentu. Alasannya sederhana. Selain soal keuangan, makanan dari luar tidak akan menjamin kebersihan.Begitu juga dengan kebutuhan sederhana untuk sehari-harinya. Ibu harus menyiapkan pakaian, sabun cuci, sabun mandi, dan yang terpenting adalah obat gosok gigi, karena walaupun makanan di desa berlimpah, tapi kebutuhan sesederhana itu tampaknya sangat sulit dibeli.
            Stasiun Tawang adalah tempat pertama kali yang harus dituju sebelum memulai perjalanan dengan menggunakan kereta. Setelah melewati pintu masuk, mereka pun mencari kereta yang bersangkutan. Untunglah kereta itu berada di rel sepur pertama tepat di depan pintu gerbang. Kemudian setelah semuanya naik, kereta akhirnya berangkat juga. Mereka siap menuju Tegalrejo, desa dari kakek Dini, Nugroho, Maryam, Heratih, dan Teguh.Perjalanan yang panjang saat itu membuat Dini terbangun dari tidurnya ketika kereta berhenti di suatu tempat yang bernama Kedung Jati. Lalu setelah lama beristirahat di sana, untuk selanjutnya kereta memulai perjalanannya lagi dan sampai di Surakarta. Mungkin tidak ada pilihan lain selain turun untuk ganti kereta. Kereta menuju Madiun baru akan berangkat dua setengah jam lagi. Oleh karena itu, Ayah telah mengusulkan pada Ibu agar anak-anaknya diberi makan terlebih dahulu. Untung saja setelah makan dan kemudian menuju ke peron untuk naik kereta, mereka menemukan kereta yang cocok untuk berangkat ke Madiun.
          Tiba di Madiun, mereka lalu turun. Seorang pemuda yang kelihatannya sebaya dengan Heratih namun lebih tinggi kemudian menjemput mereka. Dini baru tahu kalau ia adalah Paman Sarosa yang memang adalah pamannya sendiri. Tapi tampaknya usianya memang hampir sama dengan Heratih.Setelah dilanjutkan dengan andong, mereka beriring-iringan menuju stasiun bis yang akan membawa mereka sekeluarga sampai ke Gorang Goreng. Saat itu matahari hampir terbenam, walaupun udara masih cukup terang.Jalan sepanjang Tegalrejo ternyata cukup menyulitkan. Banyak lubang-lubang bekas genangan air hujan, batu-batu gunung, ataupun tumbuh-tumbuhan berduri di sekitarnya. Tapi itu semua tidak cukup menghalangi mereka untuk cepat-cepat bertemu dengan kakek maupun nenek sebentar lagi.
Sesampainya di rumah kakek, hari sudah mulai gelap. Kakek yang sedang duduk bersila di atas amben rendah, bertumpu pada beberapa bantal di sampingnya. Dengan ditemani tiga orang di depannya, beliau berbicara dengan suara rendah di ruangan yang diterangi oleh lampu minyak. Saat itulah, seluruh keluarga Dini saling bergantian bersujud dan sebagai gantinya kakek balas mencium dahi mereka.
            Menjelang malam hingga paginya Dini dan keluarganya tidur di amben rendah yang memenuhi sebuah bilik. Lapisan yang ada di atasnya tipis dan rata, sehingga tidak menyebabkan sakit punggung.Berbicara tentang kakek, beliau adalah seorang Kyai yang akrab dipanggil sebagai Kyai Wiryobesari. Para muridnya dibantunya belajar mengaji serta berpikir dengan dasar kebajikan yang diajarkan Tuhan.Selama di desa, Dini mengakui kalau ia lebih sering berada bersama nenek atau Paman Sarosa. Karena bersama mereka, berarti                   Dini akan lebih sering berada di dapur atau di kebun. Suatu malam, Ibu menceritakan tentang segala kebiasaan kakek. Kata Ibu, kakek lebih banyak makan buah dan sayur daripada nasi dan lauk daging maupun ikan. Setiap pagi, di atas dingklik yang tersedia di samping bantal-bantal di amben tempat duduknya, selalu ada cangkir besar dari panci yang berisi susu sapi atau kambing, tergantung pada hasil pemerahan susu dari ternak sendiri. Di sana juga ada sebuah keranjang anyaman yang penuh dengan buah-buahan.Kadang-kadang pada waktu tertentu, kakek menyendiri dalam sebuah bilik, tanpa serberkas cahaya apapun. Di sana dia tinggal selama empat puluh hari empat puluh malam, hidup hanya dari secangkir susu setiap minggu. Lalu empat puluh hari lainnya, hidup seperti biasa, tetapi tetap tanpa nasi. Selama itu, kakek hanya makan buah-buahan. Tapi, walaupun begitu, kakek sangat tahu menjaga diri. Puasanya selalu diatur agar kebutuhan jasmani akan gizi dapat terpenuhi. Beliau juga patuh mendengarkan nasehat saudara-saudara atau muridnya yang menjadi dokter. Oleh sebab itu, kesehatan badan kakek selalu terjaga. Badannya yang kurus dan tipis itu tidak kering. Pandangannya masih tajam, begitu pula dengan pendengarannya.
          Beralih ke Paman Sarosa. Suatu hari, paman mengajak Dini untuk menunjukkan betapa besarnya sawah yang mereka miliki. Beliau mengajak Dini ke tengah genangan petak, lalu naik ke atas gubug. Ketika padi mulai terisi, burung-burung berdatangan dengan sendirinya bagaikan diundang. Saat itulah sang penjaga padi mengendalikan alat pangusir burung menurut kemauannya. Selain itu juga, Paman Sarosa membawa Dini ke sebuah sungai yang berair dangkal, kelihatan tenang, dan berair jernih. Pokoknya Paman Sarosa memang membuat Dini jatuh cinta pada desa kakeknya itu. Tapi sayang sekali, semuanya berlalu begitu cepat. Dini dan keluarganya harus menyudahi kesenangannya di desa itu dan berkelanjutan di Ponorogo, tempat orang tua dari Ibu Dini, yang biasanya disapa Pak De atau Bu De.Kakek maupun Nenek sangat jauh berbeda dengan Pak De ataupun Bu De. Bahkan jauh berbeda ditinjau dari segi manapun. Selama tiga hari di Ponorogo, Dini hampir tidak mengira kalau kenangan yang terpaku dalam ingatannya bukanlah keakraban keluarga. Rumah Pak De ataupun Bu De hampir sama seperti rumah orang lain tempat Ayah dan Ibunya berkunjung. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa Dini adalah cucu dari si pemilik rumah.
          Akhirnya tiba juga Dini dan keluarganya meninggalkan Ponorogo tanpa suatu penyesalan apapun.Begitu tiba di rumah, yang pertama kali dijumpai adalah suatu kesibukan yang seperti tidak semestinya. Ibu membeli kaleng-kaleng yang bisa ditutup rapat sebagai tambahan yang telah ada, bertumpukan di dalam loteng. Dalam jarak waktu teratur, Ibu memasukkan kerak kering, rengginang, beras, kacang hijau, ikan asin, dendeng, gula, dan kopi ke dalam kaleng-kaleng itu. Dengan teratur pula, Ayah menaikkannya ke ruang di bawah atap.Tampaknya, kata loteng itu bukanlah arti yang sebenarnya. Mungkin di sana tersimpan berbagai barang yang wajib disembunyikan dari pandangan umum. Sejak masa kecil Dini, itu merupakan sesuatu yang penuh dengan rahasia.Setelah beberapa lama sejak kembali ke rumah mereka, kesibukan pada saat sebelum Lebaran tiba, membuat Dini dan kakaknya, Maryam harus mengunjungi rumah kakek lagi. Sementara Ayah, Ibu, dan Heratih akan menyusul setelah mereka.
            Liburan Puasa ternyata membuat Dini menemukan dua orang kawan yang sebenarnya, yaitu Paman Sarosa dan Maryam. Dari pertama kali mengenal paman, ia sama sekali tidak pernah memperlakukan Dini sebagai anak kecil. Sedangkan Maryam membuktikan kalau dia dan Dini lebih sering bersama sejak awal kunjungan mereka ke Ponorogo. Kesempatan tinggal di tempat kakek lebih menunjukkan kesamaan rasa dalam segala hal. Berbeda dengan saudara laki-laki lainnya ataupun dengan Heratih sekalipun. Heratih terlalu banyak menunjukkan sifat keibuan sehingga membuat Dini lebih menganggapnya pamong daripada seorang kawan.Beberapa hari sebelum Lebaran, orang tua dan kakak-kakak Dini yang lain segera menyusul ke rumah kakek. Kesibukan menyambut Lebaran antara lain memetik janur kelapa dan menganyamnya menjadi bungkus ketupat. Sedangkan waktu Lebaran adalah waktu berkunjung. Banyak murid kakek datang bersujud, memohon maaf atas segala kesalahan mereka. Untuk itu, nenek telah menyiapkan makanan secukupnya. Suasana khidmad berganti menjadi meriah karena banyaknya anak-anak yang berkumpul di halaman.
          Bagi Dini, sekolah adalah sebuah tempat yang akan mengurungnya dari pagi sampai siang, tempat yang mengharuskannya duduk tak bergerak di atas bangku sempit dan tinggi. Yang jelas, perasaan khawatir, takut, sekaligus ingin tahu, semuanya bercampur aduk dalam benak Dini saat itu. Tapi itu tidak dapat membuat Dini untuk menghindari sekolah. Hari pertama bersekolah, Dini diantarkan ibunya dengan menggunakan dokar. Sampai di halaman tempat yang membuat Dini ragu-ragu itu, anak-anak yang lain segera berpisahan, mencari kawan-kawan baru mereka. Sementara Ibu menyalami beberapa orang diantaranya, menyorong Dini agar berkenalan dan berbicara dengan anak-anak sebayanya untuk menunggu bel masuk berdentang.
         Akhirnya tiba juga saatnya untuk masuk ke kelas yang baru. Seorang wanita berdiri di depannya, membawa sebuah buku tulis terbuka dan sebuah pensil. Dia memanggil nama anak-anak asuhannya, termasuk Dini. Ketika masuk ke dalam kelas, wanita yang tadi memanggil nama-nama muridnya, kini menunjukkan tempat duduk mereka masing-masing. Bukan bangku tinggi yang sempit, melainkan bangku yang rendah dan seukuran. Melihat itu, Dini seakan mempunyai firasat baru yang menyatakan kalau dia akan senang bersekolah di sana. Dan firasat itu semakin merupakan bujukan nyata saat ia duduk di atasnya.Sepertinya Dini sangat bangga memiliki sekolah yang terletak di tengah-tengah tempat perumahan Pendrikan Tengah yang nyaman. Wanita yang pertama kali ia temui saat mengajar ternyata bernama Bu Sus yang selalu memakai sanggul rambut yang terlalu ditarik ke belakang, tubuh lampai, lebih tinggi dari ibunya tapi suaranya lemah lembut. Begitulah suasana menyenangkan yang dialami Dini saat bersekolah.Namun, pada suatu hari suasana tiba-tiba saja berubah menjadi menakutkan.
           Saat itu adalah sore hari. Setelah beristirahat, Dini bermain-main di belakang rumah bersama anak-anak lain sebayanya. Dan pada waktu itulah mendadak terdengar suara-suara letusan, diiringi raungan sirene tanda bahaya. Maryam langsung menariknya pulang. Seketika itu juga anak-anak lain pun dipanggil oleh orang tua mereka masing-masing.Meninggalkan kampung. Itulah yang pertama kali dikatakan Ibu sambil mengepak beberapa bungkusan serta koper sedangkan Heratih sedang menyumpalkan beberapa pakaian yang baru ditarik dari kain jemuran. Sepertinya tidak ada waktu untuk menjelaskan apa yang terjadi, kecuali kalau Dini dan keluarganya harus mengungsi ke seorang kenalan Ayah di Batan, tanpa Ayah tentunya.Kampung Batan terletak di tepian lain Sungai Semarang yang memanjang di belakang rumah Dini. Menurut pengetahuannya, tidak pernah ada kenalan atau kerabat yang tinggal di sana. Tetapi Ayah mempunyai jalan pikiran lain mengenai hal itu.Ayah sendiri tidak bisa meninggalkan kampung karena harus ada seseorang yang tinggal untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ada yang merampok rumah-rumah penghuni lain selagi semuanya pergi. Barangkali itu adalah jalan pikiran yang terbaik, walaupun Dini sendiri tidak begitu suka kalau ayahnya tidak bersamanya.
         Sewaktu menyeberang jembatan, Maryam menunjukkan warna air sungai cokelat dipenuhi limpahan warna kemerahan yang tampak sangat mencurigakan. Mula-mula yang ada dalam pikiran Dini itu adalah darah. Pikiran tentang perang dengan segala kengeriannya membuat pikiran Dini menjadi gelap. Lalu kakaknya menerangkan bahwa itu adalah minyak bakar bercampur air. Mungkin saja di beberapa tempat persediaan bahan bakar Belanda telah dibom atau dihancurkan.Lalu mereka semua naik ke tepian Kampung Batan. Jauh di tengah kampung, Ibu menuju ke sebuah rumah pengungsian dengan emper melonjok ke depan seperti sebuah pendapa, tetapi lebih sempit. Masing-masing keluarga membentuk pojok juga lingkaran sendiri-sendiri dan kemudian berangsur-angsur menjadi penuh. Usai makan, tiba-tiba terdengar tanda bahaya udara. Dari jauh, terdengar pula suara pesawat terbang dan disusul letusan bom. Lalu pesawat lain mendekat, diikuti bunyi gemuruh seperti gunung meletus. Berkali-kali seluruh rumah bergetar karena letusan bom yang jatuh entah di mana. Pokoknya suasana saat itu benar-benar sangat kacau.Setelah beberapa waktu berlalu dalam ketakutan, akhirnya keadaan berubah menjadi sunyi senyap. Jauh sayup-sayup, suara pesawat terbang telah menghilang. Dini sama sekali tidak mempercayai penglihatannya. Kedua matanya tidak bohong ketika melihat orang-orang sekitar, termasuk keluarganya, telah selamat dari bahaya.Dini juga hampir tidak mempercayai pendengarannya saat ia tahu bahwa tempat yang dibom Belanda, bukanlah kampung tempat ia tinggal, melainkan kampung Kembangpaes.
          Sejak saat itu, setiap hari baik siang maupun malam seringkali terdengar serangan. Semua kantor dan sekolah-sekolah ditutup. Tapi keluarga Dini memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumah asal mereka. Karena tidak ada sekolah, Ayah juga memutuskan untuk meneruskan pengajaran anak-anaknya. Setiap hari, Dini patut merasa senang karena Ayah telah mengajarinya mengenal huruf-huruf cetakan, lalu membacanya kata demi kata. Atau juga membantunya menyalin huruf Latin yang telah tersedia.Lalu datanglah hari itu, hari saat Belanda akhirnya meninggalkan kota.
         Saat itu seperti hari kemenangan yang sangat bersejarah. Tanpa membuang waktu, Teguh lalu menghambur menuju Harmoni, sebuah gedung megah berhalaman yang terletak di samping kampung untuk mengambil banyak makanan atau minuman, saat tahu kalau tempat itu sedang penuh dengan rakyat-rakyat kampung yang sedang membutuhkan. Awalnya, Ibu mencegatnya. Tapi itu tidak akan mencegatnya untuk mengurungkan niat.
        Di saat suasana yang lega dan bergembira, tiba-tiba Maryam bertanya siapa yang akan memimpin untuk waktu selanjutnya. Ibu bilang, berikutnya adalah Jepang, yang akan memimpin dengan waktu yang sangat singkat, walaupun tidak ada yang tahu seperti apa bentuk pimpinannya suatu hari nanti.

Rabu, 04 Agustus 2010

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Rosyid A | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review
Chrome Pointer