Pernah
mengajari anak balita untuk meminta maaf? Setelah ‘berantem’ dengan
temannya, mungkin Anda hanya mengatakan, “Ayo baikkan!”, atau “Ayo
minta maaf!” Bisakah mereka melakukannya? Mereka pasti tidak mengerti
maksud Anda. Saya punya sebuah pengalaman bahwa mengajari meminta maaf
kepada si kecil, bisa berhasil.
Suatu
hari, seperti biasa saya memandikan putri saya, Syanita (hampir 3
tahun). Dia masih senang menggunakan bak mandi plastik. Selesai mandi,
saya bersihkan baknya. Syanita yang sudah memakai handuk, menunggu
saya. Biasanya ia masih bermain dengan bebeknya. Tapi pagi itu saya
kaget, karena ia bermain dengan sabun.
Tangannya
disabuni lagi. Wah, saya kesal. Langsung saya rebut sabunnya dengan
kasar. Saya pukul tangannya. Saya basuh tangannya dengan air dingin.
Ia kaget. Menangis keras. Saya gendong dia masuk ke kamar. Mengeringkan
badannya dan mendandani seperti biasa. Ia terus meraung-raung,
meronta, membuat saya tambah marah.
“Nggak
boleh main sabun! Jangan nangis! Diem! Cepet pake baju, dingin!”
Kata-kata itulah yang keluar dari mulut saya, sementara puri saya terus
menangis. Anak saya juga berteriak, “Ibu nakal! Ibu nakal!” Akhirnya
saya mengalah. “Iya, ibu nakal!” Biasanya memang seperti itu. Kalau
saya sudah mengaku nakal, nangisnya berhenti.
Kejadian
pagi itu sudah hilang dari ingatan saya. Tapi, rupanya tidak begitu
bagi putri saya. Ia masih ‘dendam’. Ketika diajak tidur siang, dia
menolak. Saya paksa dia tidur, dia malah minta jalan-jalan. Tapi saya
tidak marah. Disuapi makan sore, malas-malasan. Saya pun tidak marah.
Akhirnya
ia mau makan. Tapi seharian itu ia memang terlihat uring-uringan,
membuat saya sangat cape. Seharian itu ia tidak tidur siang, sehingga
saya ingin cepat membuatnya tidur agar istirahatnya cukup. Rencananya,
sehabis sholat Magrib saya akan menidurkannya. Setelah selesai sholat,
biasanya anak saya akan mencium tangan saya dan saya mendoakannya.
Tapi saat itu, anak saya diam saja. Rupanya ia masih ‘dendam’ kepada
saya.
Ia
bahkan tidak ikut sholat bersama. Tiba-tiba saya berinisiatif, saya
raih tangan mungilnya. Saya cium tangannya dan saya berkata dengan
lembut kepadanya. “Ani, maafin ibu ya…, tadi ibu bikin Ani sedih ya?
Ani sedih dipukul tangannya sama ibu?” Dia mengangguk lalu memeluk
saya. Hmm… saya merasa benar-benar bersalah.
Karena
itu saya ulangi lagi meminta maaf kepada anak saya. “Ani maafin ibu
ya!” Kali ini dia menangis. Saya gendong Syanita, membaringkannya di
tempat tidur. Setelah membuka mukena, saya ikut berbaring di
sebelahnya.
Ani
yang kecapean karena tidak tidur siang rupanya benar-benar sudah ingin
tidur. Tapi hatinya baru terasa nyaman setelah ucapan maaf mengalir
dari mulut saya. Saya jadi merasa sangat bersalah. Saya tepuk-tepuk
pantatnya. Saya tawarin untuk bercerita. Dia mengangguk. Maka saya
pun bercerita, dan ia langsung tertidur sambil memeluk saya.
Keesokan
harinya entah kenapa anak saya sulit diatur. Pagi-pagi setelah mandi,
ia ingin memakai baju piyama. Ia menangis memaksa saya memakaikan
piyama. Setelah berkali-kali dijelaskan bahwa baju piyama untuk dipakai
sore sebagai baju tidur akhirnya anak saya menyerah. Tapi ia masih
marah-marah. Siang hari Syanita masih membuat saya jengkel karena mau
main di luar pada jam tidur siang. Saya tidak memarahinya sama sekali.
Saya
turuti permintaan ‘aneh’nya hari itu-jalan-jalan di siang hari. Tapi,
ia tetap tidur siang, meskipun sudah agak sore. Saya memang menggerutu
karena kesal dan mengadu kepada kakeknya soal tingkah laku Syanita.
Ketika Maghrib, ia menolak sholat bersama. Tetapi ia memerhatikan
sholat saya. Setelah saya selesai sholat, ia lari mendekat dan mencium
tangan saya. Lalu ia berkata. “Ibu, maafin Ani ya…!” Saya terperanjat.
“Hah,
anak sekecil ini meminta maaf dengan cara begini? Dari mana ia belajar
bersikap seperti ini?”, hati saya bertanya-tanya. Ingatan saya langsung
kembali pada peristiwa kemarin. Saya terpana. “Oh, jadi ia ingat
kemarin saya meminta maaf dengan cara seperti ini. Dan sekarang ia
meminta maaf karena telah membuat saya jengkel sejak pagi sampai sore.”
Saya
tidak bisa menjawab permintaan maaf anak saya. Segera saya peluk
Syanita sambil saya ciumi pipinya. “Anak pinter!” Hanya itu kata-kata
yang keluar dari mulut saya. Syanita telah belajar meminta maaf dari
cara saya meminta maaf yang saya lakukan terhadapnya. Oleh Bu Tita
0 komentar:
Posting Komentar