Kehidupan sewaktu kecil Nh Dini memang terisi dengan sebagaimana mestinya. Hidup dengan kedua orang tua dan keempat saudara kandungnya, Dini melewatkan masa-masa kecil dengan berbagai hal baru yang belum banyak diketahui olehnya. Hal baru yang akan menuntunnya lebih jauh ke depan.
Ketika itu adalah musim penghujan yang mempengaruhi keadaan sekitar halaman rumah keluarga Dini. Ayam-ayam peliharaan tidak memiliki kesempatan berjemur seperti hari-hari yang lain karena menghilangnya matahari. Jadi untuk mengisi kegiatan, ada beberapa ekor yang keluar kandang untuk mencari keong-keong kecil. Tapi ada juga yang sampai masuk ke dalam ruangan makan, entah apa yang akan diperbuat, hingga akhirnya diketahui orang rumah dan disusul dengan usiran marah.
Sedangkan di dapur, satu ekor ayam yang bernama Blirik dengan enam anaknya yang kuning bersih selalu rajin mengunjungi Bu Salyo, yang cukup dipanggil Ibu oleh keluarganya.Setiap kali ada telur yang menetas, Ayah atau bapak lima anak dari keluarga Dini selalu memisahkan induk ayam dengan anaknya. Jika musim mendukung, tiga sampai empat induk akan memisahkan telur-telurnya.
Pagi itu adalah suasana seperti pagi-pagi yang telah lewat sebelumnya. Seluruh kakak-kakak Dini; Heratih, Nugroho, Maryam, dan Teguh telah berangkat sekolah dan Ibu duduk di sudut ruang makan menunggu Embok Blanjan, seorang perempuan penjual sayuran dan bahan makanan lainnya. Penjaja itu juga selalu membawa berbagai jajanan, makanan asin atau manis yang sedap lezat dibungkus rapi dengan daun pisang, dan kali ini Dini lebih memilih Tiwul, yakni makanan kecil yang terbuat dari ubi.Setelah Embok Blanjan mengemasi dagangan, maka dimasukannya kembali dagangan itu ke dalam bakul atau ke atas tampah, lalu dia pamit dengan sopan.Karena di belakang rumah sedang banjir disebabkan hujan yang sangat lebat, maka dengan tidak sabar Dini langsung menyatakan keinginannya untuk turut menyerok ikan bersama Ayah, walaupun pada akhirnya Ibu sama sekali tidak menyetujui.
Kebun belakang rumah yang luas saat itu tergenangi air cokelat, dan tidak dapat diperkirakan berapa meter tingginya. Pohon kluwih, mangga lalijiwo, pohon mangga biasa, dan kedondong seperti mengapung lalu tiba-tiba muncul dari garis permukaan air, sedangkan pohon pisang yang paling banyak tumbuh dan tersebar di segala penjuru kebun, batangnya berjuluran. Tidak hanya itu, kandang itik pun turut tenggelam pula. Untung saja Ayah membuat atap kandang itu lebih tinggi hampir menyentuh atap dapur. Di dalamnya Ayah juga membuat sangkar yang bertingkat-tingkat agar ada bagian kering untuk tidur atau bertengger, tetapi yang masih bisa dicapai oleh itik-itik itu.Tentu saja itik-itik itu merasa sangat berbahagia, bisa hilir-mudik berenang dalam kandangnya, walaupun ada juga yang mencocok-cocok bambu seakan berusaha untuk keluar.
Di sisi lain dari panorama tersebut, Dini lebih menyukai berada di dalam rumah, biasanya untuk bermain-main dengan anak pembantu sebaya di bawah sebuah meja bilyar di tengah pendapa, bertudungkan kain batik tua yang menutupi meja bilyar, dengan ujung-ujung kain yang saling berkaitan. Dan itulah waktu-waktu panjang yang telah Dini lalui kala menunggu ayah dan kakak-kakaknya pulang.
Suasana makan di rumah keluaraga Dini memang berjalan dengan sangat teratur, tidak boleh banyak berbicara dan makanan harus dinikmati dalam diam. Mengunyah juga harus dengan lambat, tanpa suara dengan mulut tertutup. Selain itu, jika makan menggunakan tangan, mereka harus mencuci tangan terlebih dahulu.Dan pada suasana makan itulah, Ayah tiba-tiba memutuskan bahwa mereka akan berkunjung ke desa, rumah dari orang tua Ayah saat liburan sekolah di suatu kesempatan. Liburan ke desa yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga di depan mata. Untuk mempersiapkan semua itu, Ibu membawa makanan secukupnya, yang setidaknya harus cukup untuk kebutuhan keluarganya. Beliau kurang setuju kalau membeli makanan di perjalanan, kecuali buah-buahan atau jenis makanan khas dari daerah tertentu. Alasannya sederhana. Selain soal keuangan, makanan dari luar tidak akan menjamin kebersihan.Begitu juga dengan kebutuhan sederhana untuk sehari-harinya. Ibu harus menyiapkan pakaian, sabun cuci, sabun mandi, dan yang terpenting adalah obat gosok gigi, karena walaupun makanan di desa berlimpah, tapi kebutuhan sesederhana itu tampaknya sangat sulit dibeli.
Stasiun Tawang adalah tempat pertama kali yang harus dituju sebelum memulai perjalanan dengan menggunakan kereta. Setelah melewati pintu masuk, mereka pun mencari kereta yang bersangkutan. Untunglah kereta itu berada di rel sepur pertama tepat di depan pintu gerbang. Kemudian setelah semuanya naik, kereta akhirnya berangkat juga. Mereka siap menuju Tegalrejo, desa dari kakek Dini, Nugroho, Maryam, Heratih, dan Teguh.Perjalanan yang panjang saat itu membuat Dini terbangun dari tidurnya ketika kereta berhenti di suatu tempat yang bernama Kedung Jati. Lalu setelah lama beristirahat di sana, untuk selanjutnya kereta memulai perjalanannya lagi dan sampai di Surakarta. Mungkin tidak ada pilihan lain selain turun untuk ganti kereta. Kereta menuju Madiun baru akan berangkat dua setengah jam lagi. Oleh karena itu, Ayah telah mengusulkan pada Ibu agar anak-anaknya diberi makan terlebih dahulu. Untung saja setelah makan dan kemudian menuju ke peron untuk naik kereta, mereka menemukan kereta yang cocok untuk berangkat ke Madiun.
Tiba di Madiun, mereka lalu turun. Seorang pemuda yang kelihatannya sebaya dengan Heratih namun lebih tinggi kemudian menjemput mereka. Dini baru tahu kalau ia adalah Paman Sarosa yang memang adalah pamannya sendiri. Tapi tampaknya usianya memang hampir sama dengan Heratih.Setelah dilanjutkan dengan andong, mereka beriring-iringan menuju stasiun bis yang akan membawa mereka sekeluarga sampai ke Gorang Goreng. Saat itu matahari hampir terbenam, walaupun udara masih cukup terang.Jalan sepanjang Tegalrejo ternyata cukup menyulitkan. Banyak lubang-lubang bekas genangan air hujan, batu-batu gunung, ataupun tumbuh-tumbuhan berduri di sekitarnya. Tapi itu semua tidak cukup menghalangi mereka untuk cepat-cepat bertemu dengan kakek maupun nenek sebentar lagi.
Sesampainya di rumah kakek, hari sudah mulai gelap. Kakek yang sedang duduk bersila di atas amben rendah, bertumpu pada beberapa bantal di sampingnya. Dengan ditemani tiga orang di depannya, beliau berbicara dengan suara rendah di ruangan yang diterangi oleh lampu minyak. Saat itulah, seluruh keluarga Dini saling bergantian bersujud dan sebagai gantinya kakek balas mencium dahi mereka.
Menjelang malam hingga paginya Dini dan keluarganya tidur di amben rendah yang memenuhi sebuah bilik. Lapisan yang ada di atasnya tipis dan rata, sehingga tidak menyebabkan sakit punggung.Berbicara tentang kakek, beliau adalah seorang Kyai yang akrab dipanggil sebagai Kyai Wiryobesari. Para muridnya dibantunya belajar mengaji serta berpikir dengan dasar kebajikan yang diajarkan Tuhan.Selama di desa, Dini mengakui kalau ia lebih sering berada bersama nenek atau Paman Sarosa. Karena bersama mereka, berarti Dini akan lebih sering berada di dapur atau di kebun. Suatu malam, Ibu menceritakan tentang segala kebiasaan kakek. Kata Ibu, kakek lebih banyak makan buah dan sayur daripada nasi dan lauk daging maupun ikan. Setiap pagi, di atas dingklik yang tersedia di samping bantal-bantal di amben tempat duduknya, selalu ada cangkir besar dari panci yang berisi susu sapi atau kambing, tergantung pada hasil pemerahan susu dari ternak sendiri. Di sana juga ada sebuah keranjang anyaman yang penuh dengan buah-buahan.Kadang-kadang pada waktu tertentu, kakek menyendiri dalam sebuah bilik, tanpa serberkas cahaya apapun. Di sana dia tinggal selama empat puluh hari empat puluh malam, hidup hanya dari secangkir susu setiap minggu. Lalu empat puluh hari lainnya, hidup seperti biasa, tetapi tetap tanpa nasi. Selama itu, kakek hanya makan buah-buahan. Tapi, walaupun begitu, kakek sangat tahu menjaga diri. Puasanya selalu diatur agar kebutuhan jasmani akan gizi dapat terpenuhi. Beliau juga patuh mendengarkan nasehat saudara-saudara atau muridnya yang menjadi dokter. Oleh sebab itu, kesehatan badan kakek selalu terjaga. Badannya yang kurus dan tipis itu tidak kering. Pandangannya masih tajam, begitu pula dengan pendengarannya.
Beralih ke Paman Sarosa. Suatu hari, paman mengajak Dini untuk menunjukkan betapa besarnya sawah yang mereka miliki. Beliau mengajak Dini ke tengah genangan petak, lalu naik ke atas gubug. Ketika padi mulai terisi, burung-burung berdatangan dengan sendirinya bagaikan diundang. Saat itulah sang penjaga padi mengendalikan alat pangusir burung menurut kemauannya. Selain itu juga, Paman Sarosa membawa Dini ke sebuah sungai yang berair dangkal, kelihatan tenang, dan berair jernih. Pokoknya Paman Sarosa memang membuat Dini jatuh cinta pada desa kakeknya itu. Tapi sayang sekali, semuanya berlalu begitu cepat. Dini dan keluarganya harus menyudahi kesenangannya di desa itu dan berkelanjutan di Ponorogo, tempat orang tua dari Ibu Dini, yang biasanya disapa Pak De atau Bu De.Kakek maupun Nenek sangat jauh berbeda dengan Pak De ataupun Bu De. Bahkan jauh berbeda ditinjau dari segi manapun. Selama tiga hari di Ponorogo, Dini hampir tidak mengira kalau kenangan yang terpaku dalam ingatannya bukanlah keakraban keluarga. Rumah Pak De ataupun Bu De hampir sama seperti rumah orang lain tempat Ayah dan Ibunya berkunjung. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa Dini adalah cucu dari si pemilik rumah.
Akhirnya tiba juga Dini dan keluarganya meninggalkan Ponorogo tanpa suatu penyesalan apapun.Begitu tiba di rumah, yang pertama kali dijumpai adalah suatu kesibukan yang seperti tidak semestinya. Ibu membeli kaleng-kaleng yang bisa ditutup rapat sebagai tambahan yang telah ada, bertumpukan di dalam loteng. Dalam jarak waktu teratur, Ibu memasukkan kerak kering, rengginang, beras, kacang hijau, ikan asin, dendeng, gula, dan kopi ke dalam kaleng-kaleng itu. Dengan teratur pula, Ayah menaikkannya ke ruang di bawah atap.Tampaknya, kata loteng itu bukanlah arti yang sebenarnya. Mungkin di sana tersimpan berbagai barang yang wajib disembunyikan dari pandangan umum. Sejak masa kecil Dini, itu merupakan sesuatu yang penuh dengan rahasia.Setelah beberapa lama sejak kembali ke rumah mereka, kesibukan pada saat sebelum Lebaran tiba, membuat Dini dan kakaknya, Maryam harus mengunjungi rumah kakek lagi. Sementara Ayah, Ibu, dan Heratih akan menyusul setelah mereka.
Liburan Puasa ternyata membuat Dini menemukan dua orang kawan yang sebenarnya, yaitu Paman Sarosa dan Maryam. Dari pertama kali mengenal paman, ia sama sekali tidak pernah memperlakukan Dini sebagai anak kecil. Sedangkan Maryam membuktikan kalau dia dan Dini lebih sering bersama sejak awal kunjungan mereka ke Ponorogo. Kesempatan tinggal di tempat kakek lebih menunjukkan kesamaan rasa dalam segala hal. Berbeda dengan saudara laki-laki lainnya ataupun dengan Heratih sekalipun. Heratih terlalu banyak menunjukkan sifat keibuan sehingga membuat Dini lebih menganggapnya pamong daripada seorang kawan.Beberapa hari sebelum Lebaran, orang tua dan kakak-kakak Dini yang lain segera menyusul ke rumah kakek. Kesibukan menyambut Lebaran antara lain memetik janur kelapa dan menganyamnya menjadi bungkus ketupat. Sedangkan waktu Lebaran adalah waktu berkunjung. Banyak murid kakek datang bersujud, memohon maaf atas segala kesalahan mereka. Untuk itu, nenek telah menyiapkan makanan secukupnya. Suasana khidmad berganti menjadi meriah karena banyaknya anak-anak yang berkumpul di halaman.
Bagi Dini, sekolah adalah sebuah tempat yang akan mengurungnya dari pagi sampai siang, tempat yang mengharuskannya duduk tak bergerak di atas bangku sempit dan tinggi. Yang jelas, perasaan khawatir, takut, sekaligus ingin tahu, semuanya bercampur aduk dalam benak Dini saat itu. Tapi itu tidak dapat membuat Dini untuk menghindari sekolah. Hari pertama bersekolah, Dini diantarkan ibunya dengan menggunakan dokar. Sampai di halaman tempat yang membuat Dini ragu-ragu itu, anak-anak yang lain segera berpisahan, mencari kawan-kawan baru mereka. Sementara Ibu menyalami beberapa orang diantaranya, menyorong Dini agar berkenalan dan berbicara dengan anak-anak sebayanya untuk menunggu bel masuk berdentang.
Akhirnya tiba juga saatnya untuk masuk ke kelas yang baru. Seorang wanita berdiri di depannya, membawa sebuah buku tulis terbuka dan sebuah pensil. Dia memanggil nama anak-anak asuhannya, termasuk Dini. Ketika masuk ke dalam kelas, wanita yang tadi memanggil nama-nama muridnya, kini menunjukkan tempat duduk mereka masing-masing. Bukan bangku tinggi yang sempit, melainkan bangku yang rendah dan seukuran. Melihat itu, Dini seakan mempunyai firasat baru yang menyatakan kalau dia akan senang bersekolah di sana. Dan firasat itu semakin merupakan bujukan nyata saat ia duduk di atasnya.Sepertinya Dini sangat bangga memiliki sekolah yang terletak di tengah-tengah tempat perumahan Pendrikan Tengah yang nyaman. Wanita yang pertama kali ia temui saat mengajar ternyata bernama Bu Sus yang selalu memakai sanggul rambut yang terlalu ditarik ke belakang, tubuh lampai, lebih tinggi dari ibunya tapi suaranya lemah lembut. Begitulah suasana menyenangkan yang dialami Dini saat bersekolah.Namun, pada suatu hari suasana tiba-tiba saja berubah menjadi menakutkan.
Saat itu adalah sore hari. Setelah beristirahat, Dini bermain-main di belakang rumah bersama anak-anak lain sebayanya. Dan pada waktu itulah mendadak terdengar suara-suara letusan, diiringi raungan sirene tanda bahaya. Maryam langsung menariknya pulang. Seketika itu juga anak-anak lain pun dipanggil oleh orang tua mereka masing-masing.Meninggalkan kampung. Itulah yang pertama kali dikatakan Ibu sambil mengepak beberapa bungkusan serta koper sedangkan Heratih sedang menyumpalkan beberapa pakaian yang baru ditarik dari kain jemuran. Sepertinya tidak ada waktu untuk menjelaskan apa yang terjadi, kecuali kalau Dini dan keluarganya harus mengungsi ke seorang kenalan Ayah di Batan, tanpa Ayah tentunya.Kampung Batan terletak di tepian lain Sungai Semarang yang memanjang di belakang rumah Dini. Menurut pengetahuannya, tidak pernah ada kenalan atau kerabat yang tinggal di sana. Tetapi Ayah mempunyai jalan pikiran lain mengenai hal itu.Ayah sendiri tidak bisa meninggalkan kampung karena harus ada seseorang yang tinggal untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ada yang merampok rumah-rumah penghuni lain selagi semuanya pergi. Barangkali itu adalah jalan pikiran yang terbaik, walaupun Dini sendiri tidak begitu suka kalau ayahnya tidak bersamanya.
Sewaktu menyeberang jembatan, Maryam menunjukkan warna air sungai cokelat dipenuhi limpahan warna kemerahan yang tampak sangat mencurigakan. Mula-mula yang ada dalam pikiran Dini itu adalah darah. Pikiran tentang perang dengan segala kengeriannya membuat pikiran Dini menjadi gelap. Lalu kakaknya menerangkan bahwa itu adalah minyak bakar bercampur air. Mungkin saja di beberapa tempat persediaan bahan bakar Belanda telah dibom atau dihancurkan.Lalu mereka semua naik ke tepian Kampung Batan. Jauh di tengah kampung, Ibu menuju ke sebuah rumah pengungsian dengan emper melonjok ke depan seperti sebuah pendapa, tetapi lebih sempit. Masing-masing keluarga membentuk pojok juga lingkaran sendiri-sendiri dan kemudian berangsur-angsur menjadi penuh. Usai makan, tiba-tiba terdengar tanda bahaya udara. Dari jauh, terdengar pula suara pesawat terbang dan disusul letusan bom. Lalu pesawat lain mendekat, diikuti bunyi gemuruh seperti gunung meletus. Berkali-kali seluruh rumah bergetar karena letusan bom yang jatuh entah di mana. Pokoknya suasana saat itu benar-benar sangat kacau.Setelah beberapa waktu berlalu dalam ketakutan, akhirnya keadaan berubah menjadi sunyi senyap. Jauh sayup-sayup, suara pesawat terbang telah menghilang. Dini sama sekali tidak mempercayai penglihatannya. Kedua matanya tidak bohong ketika melihat orang-orang sekitar, termasuk keluarganya, telah selamat dari bahaya.Dini juga hampir tidak mempercayai pendengarannya saat ia tahu bahwa tempat yang dibom Belanda, bukanlah kampung tempat ia tinggal, melainkan kampung Kembangpaes.
Sejak saat itu, setiap hari baik siang maupun malam seringkali terdengar serangan. Semua kantor dan sekolah-sekolah ditutup. Tapi keluarga Dini memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumah asal mereka. Karena tidak ada sekolah, Ayah juga memutuskan untuk meneruskan pengajaran anak-anaknya. Setiap hari, Dini patut merasa senang karena Ayah telah mengajarinya mengenal huruf-huruf cetakan, lalu membacanya kata demi kata. Atau juga membantunya menyalin huruf Latin yang telah tersedia.Lalu datanglah hari itu, hari saat Belanda akhirnya meninggalkan kota.
Saat itu seperti hari kemenangan yang sangat bersejarah. Tanpa membuang waktu, Teguh lalu menghambur menuju Harmoni, sebuah gedung megah berhalaman yang terletak di samping kampung untuk mengambil banyak makanan atau minuman, saat tahu kalau tempat itu sedang penuh dengan rakyat-rakyat kampung yang sedang membutuhkan. Awalnya, Ibu mencegatnya. Tapi itu tidak akan mencegatnya untuk mengurungkan niat.
Di saat suasana yang lega dan bergembira, tiba-tiba Maryam bertanya siapa yang akan memimpin untuk waktu selanjutnya. Ibu bilang, berikutnya adalah Jepang, yang akan memimpin dengan waktu yang sangat singkat, walaupun tidak ada yang tahu seperti apa bentuk pimpinannya suatu hari nanti.
0 komentar:
Posting Komentar